loader

Please Wait ...

Ali Imron Hamid
| Kamis, 09 Jul 2020

Putra Nababan Ragukan Kualitas PJJ Menggunakan Ponsel

Putra: Temuan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Prof Ir Nizam Msc bahwa 68,71 persen mahasiswa mengikuti PJJ dengan menggunakan ponsel.
Putra Nababan Ragukan Kualitas PJJ Menggunakan Ponsel Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI dengan Eselon I Kemendikbud RI (Sekretaris Jenderal, Dirjen Dikti, Dirjen Paud Dikdasmen, Direjn GTK, dan Kepala Balitbang dan Perbukuan) di Ruang Rapat Komisi X, Gedung Nus

Jakarta, Gesuri.id - Anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan menyoroti kualitas proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dilakukan selama tiga bulan terakhir, sejak awal pandemi Covid-19. 

Politikus PDI Perjuangan itu mengutip temuan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Prof Ir Nizam Msc bahwa 68,71 persen mahasiswa mengikuti PJJ dengan menggunakan ponsel. 

Putra pun meragukan kualitas PJJ menggunakan ponsel. 

"Di ruangan ini, saya yakin tak ada yang membaca materi Kemendikbud menggunakan ponsel. Karena kita semua tahu bagaimana kualitas membaca materi penting dengan menggunakan ponsel. Maka, bisa dibayangkan juga kualitas PJJ yang dilakukan mahasiswa kita dengan menggunakan ponsel," ujar Putra, dalam RDP Komisi X DPR-RI dengan Eselon I Kemendikbud RI (Sekretaris Jenderal, Dirjen Dikti, Dirjen Paud Dikdasmen, Direjn GTK, dan Kepala Balitbang dan Perbukuan), Kamis (9/7). 

Putra pun meragukan temuan Dirjen Dikti, bahwa kesiapan dan pemahaman para mahasiswa terhadap materi selama PJJ berada di level Average sebesar 33 persen, dan poor 21 persen. 

Anggota DPR dari Dapil Jakarta Timur (Jaktim) ini menyatakan, justru yang terjadi adalah pemahaman yang ada di level Average, sejatinya berada di Poor. 

"Saya tak mau Dikti salah membaca data, kita bicara soal pembelajaran menggunakan ponsel. Kualitas pemahaman nya pun bisa kita bayangkan," ujar Putra.

Jadi, lanjut Putra, hasil pembacaan dirinya terhadap data Dirjen Dikti terkait pemahaman mahasiswa selama PJJ itu adalah 63,46 persen berada dibawah rata-rata.

Putra menambahkan, situasi itu diperparah lagi oleh koneksi internet yang 60 persen poor, very poor dan very-very Poor.

"Jadi bisa kita bayangkan, para mahasiswa kita kuliah menggunakan ponsel, koneksi internet 60 persen poor dan very poor, serta  pemahaman nya 63,46 persen dibawah rata-rata. Ini biar semua hal jelas di depan," ujar Putra.

Namun, lanjut Putra, disamping temuan-temuan kurang bagus tersebut, ada juga temuan Dikti yang lumayan menggembirakan. Temuan itu adalah 89 persen mahasiswa kita rindu kuliah tatap muka. 

Hal itu berarti, para mahasiswa kita sudah mengetahui hal yang bisa meningkatkan soft skill mereka.

"Seperti yang kita tahu, ketika para mahasiswa ini lulus kuliah, IPK mereka hanya sampai di HRD saja. IPK tidak mereka bawa dalam kehidupan pekerjaan sehari-hari. Yang dibawa dalam kehidupan pekerjaan sehari-hari adalah kemampuan seperti berkomunikasi dan leadership. Dan saya bersyukur bahwa 89 persen  mahasiswa kita sadar bahwa pembelajaran luring itu lebih penting," ujar Putra.

Putra menilai, keinginan para mahasiswa itu harus bisa dijembatani. Dan cara menjembatani yang tepat, menurut Putra adalah melalui platform yang sedang dibangun Kemendikbud untuk menyongsong tatanan baru.

Tapi, disisi lain, Putra mempertanyakan apakah platform baru ini sudah sesuai dengan yang diminta Presiden Jokowi.

"Permintaan Presiden adalah agar Kemendikbud menggunakan produk lokal, bukan produk luar negeri. Supaya anak-anak bangsa ada  kerjaan dan ekonomi berputar. Nah, apakah platform yang dibangun ini, meskipun memakai kata-kata bahasa Inggris, adalah konten lokal?" ujar Putra.

Kemudian terkait Indonesia Cyber Education- Institute (ICE-I), Putra pun mempertanyakan penyelenggara nya, apakah berasal dari lokal atau luar negeri.

Hal itu juga terkait dengan pernyataan Presiden bahwa Kemendikbud harus membangun produk lokal.

" Dan siapa yang memegang database mahasiswa peserta ICE-I itu. Sebab sekarang marak peretasan database.  Siapa yang memegang database, maka dia menguasai dunia saat ini," ujar Putra.

Putra pun mempertanyakan soal marketplace yang dibangun Kemendikbud. Putra menyoroti kurikulum yang disediakan oleh marketplace tersebut.

"Apakah nanti semua kurikulum tersedia di market place itu, sehingga nanti mahasiswa tinggal mengambil mata kuliah di market place itu? Atau ada pemahaman yang lain," ujar Putra.

Putra pun meminta Kemendikbud mengeluarkan Surat Edaran untuk sekolah-sekolah, agar dalam PJJ sampai Desember 2020, untuk menggunakan platform Rumah Belajar.

Sebab Rumah Belajar ini bukan swasta dan bisa menjamin kualitas pendidikan seperti yang kita harapkan.

Sehingga nantinya juga bisa disinkronkan dengan program Guru Berbagi dari Kemendikbud.

"Jadi Rumah Belajar kurikulum nya dari Kemendikbud, dan Guru Berbagi juga dari Kemendikbud. Sehingga bisa sinkron. Dengan begitu, penggunaan Rumah Belajar dalam PJJ ini nantinya bisa mencapai 30 persen," ujar Putra.

Putra pun menyatakan dukungannya terhadap program assessment diagnostic dari Kemendikbud. Hal itu mampu menyelamatkan dunia pendidikan kita, agar tak sama dengan negara seperti Pakistan.

"Siswa kita jangan di gebyah Uyah lagi. Guru dan dosen harus mengetahui minat dan bakat para siswa dan mahasiswa kita. Karena itu, assessment diagnostik sangat penting," ujar Putra.

QUOTE
quote
quote
quote
quote
quote